Skip to main content

Jurnalis Indonesia Harus Berdiri Ditengah, Berpihak Kepada Kebenaran dan Keadilan

Doctor Herawansyah
Doctor Herawansyah

Opini - “Kita tidak akan dapat berdiri tepat di tengah-tengah jika kita tidak tahu betul di mana batas antara kedua hujung yang berlawanan”

Ada dua arah yang berlawanan. Arah kiri dan arah kanan. Dalam teori, para Jurnalis harus netral, mesti berada di tengah-tengah. Tidak terlalu ke kiri. Tidak juga terlalu ke kanan. Sikap yang diambil dari Kode Etik Jurnalistik Pasal 1, Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Dalam pasal tersebut dapat ditafsirkan:
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Namun pada prakteknya, sudahkah kita, sebagai Jurnalis, tepat berada di tengah-tengah?

Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu tanpa pesimisme yang getir. Kenyataannya, para Jurnalis berada pada posisi yang sama sekali tidak berada di tengah. Banyaknya alokasi dana publikasi di pemerintahan adalah bukti yang sulit dibantah. Meski kita berbusa-busa mengatakan dan mengklaim bahwa kita adalah Jurnalis yang berada di tengah-tengah, hal tersebut tidak berguna jika fakta yang ada menunjukkan bahwa kita masih menampakkan sikap keberpihakan yang nyata.

Berbagai pembelaan dan pembenaran yang dilontarkan tidak mampu menghadapi kokohnya realita. Dunia melihat, Kitapun dapat melihat.

Bagaimana posisi umat Jurnalis saat ini. Apakah kita tampil sebagai solusi, atau malah kitalah penyumbang utama problematika yang menjangkit perseteruan para kandidat Kepala Daerah? Apakah kita hadir sebagai juru damai, atau malah kitalah yang memicu perang? Apakah kita yang berada di garda terdepan perjuangan menegakkan Keadilan, atau malah kitalah para pelaku Kezaliman?.

Oleh karena itu pertanyaan "sudahkah kita tepat berada di tengah-tengah?", mesti terus menerus dilontarkan sebagai bahan evaluasi atas setiap sikap yang kita ambil. Akankah kita terlalu condong ke sana, atau terlalu condong ke sini. Kitalah, berdasarkan amanat Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers. 

Kita harus berdiri tepat di tengah-tengah, karena hanya pada posisi itulah kita dapat melihat dan menyikapi segala sesuatunya dengan adil. Hanya saja, problem sebenarnya dari sikap untuk selalu tepat berada di tengah-tengah itu bukanlah pada komitmen kita untuk itu, tapi pada pengetahuan kita mengenai posisi tengah-tengah itu.

Sebagaimana pada pernyataan yang saya lontarkan di awal tulisan ini, kita tidak akan pernah tahu secara tepat posisi pertengahan itu jika kita tidak mengenali dengan baik di mana kanan dan di mana kiri itu berada. Orang yang bertemannya, hidupnya dan bacaannya hanya literatur sisi kanan bagaimana bisa mengklaim bahwa ucapan dan tulisannya memiliki semangat pertengahan?, Orang yang seumur hidupnya hanya berkutat dengan propaganda dan doktrin sisi kiri, bagaimana bisa berkata bahwa berada tepat di tengah-tengahlah dirinya berdiri?.

Di sinilah peran ilmu pengetahuan. Orang yang bisa berdiri tepat di tengah-tengah adalah dia yang memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni mengenai sisi kanan dan juga sisi kiri.

Dia tahu dimana sisi kanan bermula dan menemui titik akhir. Sebagaimana dia tahu dengan baik pula di mana sisi kiri bermula dan berakhir. Hanya dengan ilmu pengetahuan yang cukup akan kedua sisi itu, pengakuan akan sikapnya bahwa dia telah berdiri tepat di tengah-tengah bisa dikatakan sebagai suatu pengakuan yang benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada. 

Selanjutnya, dalam Pasal 3 Kode Etik Junalistik dikatakan wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Adapun yang dimaksud dengan berimbang menurut penafsiran pasal ini adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
 
Melihat pada ketentuan dalam Kode Etik Jurnalistik yang telah disebutkan di atas, ini artinya, dalam pemberitaan seputar kandidat Kepala Daerah hendaknya diberitakan secara berimbang, tidak cenderung memihak pada kandidat Kepala daerah tertentu walaupun ada kepentingan yang menyangkut pemilik perusahaan.
 
Oleh karena itu, suatu pemberitaan pers (media massa) yang cenderung hanya memihak kepada salah satu kandidat Kepala Daerah saja dapat dikatakan melanggar asas berimbang yang ditentukan dalam kode etik jurnalistik.
 
Menurut Kode Etik Jurnalistik, penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sedangkan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
 
Dari uraian di atas, dapat dilihat juga bahwa pada dasarnya UU Pers hanya mengatur pers secara umum saja, akan tetapi hal-hal yang menyangkut sikap tindak pers diatur lebih lanjut dalam Kode Etik Jurnalistik.
 
Mengacu pada peran pers dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagaimana dikatakan dalam buku Pers dan Pilkada 2005. Dalam buku ini antara lain dijelaskan bahwa untuk menghindari adanya perbenturan kepentingan (conflict of interest) dan pelanggaran prinsip etika jurnalisme, wartawan harus selalu bersikap adil, seimbang, dan independen. Prinsip ini juga berlaku bagi wartawan yang secara individu maupun kelompok menjadi “tim sukses” calon kepala daerah yang ikut pilkada.
 
Lebih lanjut dikatakan dalam buku tersebut, bahwa dewan pers mengimbau masyarakat agar aktif memantau kinerja media dalam peliputan pilkada. Jika masyarakat melihat adanya bias pers, pemberitaan media yang memihak secara terang-terangan atau penyalahgunaan profesi wartawan, maka masyarakat jangan ragu untuk mengingatkan media bersangkutan atau mengadu ke Dewan Pers (hal.3).

Dalam proses pilkada, pers dituntut memainkan peran sosialisasi dan pengawasan agar pilkada berjalan secara jujur dan adil. Pers yang membela kepentingan politik salah satu kandidat, apalagi sengaja menjadi tim sukses, berarti telah mengingkari fungsi pers (hal. 12-13).

Kepada para Jurnalis, penulis mengingatkan bahwa “JURNALIS ITU MAHAL, JURNALIS ITU ADALAH BEBAS BEREKSPRESI dan JURNALIS ITU TIDAK BISA DIDIKTE DENGAN UANG RECEHAN, JURNALIS ITU PUNYA KODE ETIK JURNALISTIK dan UU PERS”.

Jurnalis yang berada di tengah-tengah adalah kehormatan dan harga diri karena dengan berada ditengah-tengah kita akan terus dihormati dan dihargai rakyat, bangsa dan negara


Dr. Ir. H. Herawansyah, S.Ars., M.Sc., MT, IAI. [Jurnalis] Pakar Ilmu Politik dan Sosial Media.

Catatan :

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. (*Red)

Dibaca 652 kali

Facebook comments